Tuesday, October 18, 2016

MAKALAH HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI





KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa  atas limpahan Rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas hukum pidana dan kriminilogi mengenai “PRINSIP-PRINSIP POKOK SISTEM PERMASYARAKATAN SERTA TUGAS DAN FUNGSI LEMBAGA PERMASYARAKATAN DALAM NARAPIDANA” ini dengan tepat waktu.

Syalawat serta salam tak lupa pula kami hanturkan kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW karena atas perjuangan beliau kami dapat merasakan hari-hari yang penuh dengan ilmu ini.
Rasa terima kasih kami ucapkan kepada ibu pembina mata kuliah, dan kepada masing-masing anggota kelompok yang telah berperan aktif dalam penyelesaian makalah ini.

Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua sehingga dapat memberikan suatu dan mampu menambah pengetahuan kita dan memahami lebih dalam lagi tentang HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI  itu sendiri.
Akhir kata penulis menguapkan terima kasih,semoga bermanfaat, saran dan kritiknya kami harapkan.



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Hukum sebagai salah satu alat untuk “menghadapi” kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan, dari satu cara yang bersifat “pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan, yang berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu lainnya, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan akan terus berubah sebagai wadah pembinaan nara pidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.

Setiap perbuatan yang dilakukan pada dasarnya adalah bentuk dari gejala sosial dan tindakan itu sudah diatur oleh sebuah norma yang berkembang menjadi sebuah hukum dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Suatu perbuatan yang dianggab suatu kesalahan oleh orang banyak dan bertentangan dengan norma maka perbuatan tersebut dianggab pantas untuk dipertanggung jawabkan sehingga untuk mempertanggung jawabkan nya itu maka dikenallah sanksi dimana sanksi itu berawal dari pembalasan secara fisik dan ini dijadikan sebagai alat pembalasan dari kesalahan yang sudah dilakukan sekaligus yang ampuh untuk menakuti orang lain. 

Pada mulanya jenis hukuman masih bersifat pidana fisik, misalnya pidana cambuk, potong tangan dan bahkan pidana mati (pemenggalan kepala) atau gantung. Dengan lahirnya pidana hilang kemerdekaan.





BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM PERMASYARAKATAN INDONESIA



A. PERKEMBANGAN SISTEM PERMASYARAKATAN

Sistem Pemasyarakatan bagi publik lebih identik dengan “penjara” atau pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kenyataannya, tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Oleh karenanya, sub-sub system dari Sistem Pemasyarakatan (yang kemudian disebut Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan) tidak hanya Lembaga Pemasyarakatan yang melakukan pembinaan, namun juga Rumah Tahanan Negara untuk pelayanan tahanan, Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara untuk perawatan barang-barang milik warga binaan atau yang menjadi barang bukti, serta Balai Pemasyarakatan untuk pembimbingan warga binaan dan klien pemasyarakatan.

 Secara filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan), dan Resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujuan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).

Dalam pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 (salah satunya hasil pemikiran dari Bahruddin Suryobroto), selain juga dipengaruhi oleh kebijakan Presiden saat membuka konferensi kepenjaraan tahun 1964 tersebut.

Dalam amanat Presiden saat membuka konferensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiapmanusia adalah Makhluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif. Diranah filosofis, Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi, melalui perlindungan hakhak terpidana. 

Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam pasal 5 UU Pemasyarakatan, bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas; pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu juga ditegaskan dalam pasal 14 UU Pemasyarakatan, bahwa setiap narapidana memiliki hak sebagai berikut:

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
b.  mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c.  mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e. menyampaikan keluhan
f.  mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya
i.  mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)


B. PRINSIP-PRINSIP POKOK PERMASYARAKATAN

Setelah diselenggarakannya konperensi dinas para pimpinan kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 di Lembang yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping dengan sistem pemasyarakatan arah tujuan pidana penjara juga merupakan cara untuk membimbing dan membina narapidana. Kemudian sambutan Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam rapat kerja terbatas Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga tahun 1976 menandaskan kembali prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam koperensi Lembang tahun 1964 yang tertdiri atas sepuluh prinsip. 

Adapun prinsip-prinsip pokok dari konsepsi pemasyarakatan sebagai berikut:
  1. Orang yang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya bakal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat. Jelas bahwa yang dimaksud di sini adalah masyarakat Indonesia yang menuju ketata masyarakat yang adil dan makmur berdsarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan materiel, tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik (kesehatan), keahlian, keterampilan hingga orang mempunyai kemampuan dan kemauan yang potencial dan efektif untuk menjadi warga yang baik tidak melanggar hukum lagi dan berguna dalam pembangunan.
  2. Menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Maka tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana yang berupa tindakan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami narapidana hendaknya hanya dihilangkan kemerdekaannya.
  3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Maka terhadap narapina harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya.
  4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat dari sebelum ia masuk lembaga, untuk itu harus diadakan pemisahan antara:

  •   Yang residivis dan yang bukan.
  •   Yang tidak pidana berat dan yang ringan
  •   Macam tindak pidana yang dilakukan
  •   Dewasa, dewasa muda dan anak-anak
  •   Laki-laki dan wanita
  •   Orang terpidana dan orang tahanan/titipan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan. Masalah ini memang dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dapat dianggap sebagai masalah yang sukur dimengerti. Karena justru pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan yang menurut paham lama ialah identik dengan pengasingan dari masyarakat sedangkan menurut sistem pemasyarakatan, mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Adapun yang dimaksud sebenarnya di sini bukan ”geographical” atau “physical” tidak diasingkan akan tetapi “Cultural” tidak diasingkan, hingga mereka tidak asing dari masyarakat dan kehidupan masyarakatnya. Bahkan kemudian secara bertahap akan dibimbing di luar lembaga (di tengah-tengah masyarakat); hal ini merupakan kebutuhan dalam suatu proses pemasyarakatan. Dan memang sistem pemasyarakatan didasarkan pada pembinaan yang ”community-centered”, serta berdasarkan inter-aktivitas dan inter-diciplinair appoarch antar unsur-unsur pegawai, masyarakat dan narapidana.


6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan Negara sewaktu saja. Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nacional. Maka harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan Pembangunan Nasional. Potensi-potensi kerja yang ada di Lembaga harus dianggap sebagai satu potensi yang integral dengan potensi Pembangunan Nasional.

7. Bimbingan dan penyuluhan harus berdasarkan Pancasila. Maka penyuluhan dan bimbingan itu harus berisikan asas-asas yang tercantum di dalamnya. Kepada narapidana harus diberikan pendidikan agama serta diberikan kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadanya. Kepada narapidana harus ditanamkan jiwa gotong royong, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, juga jiwa kekeluargaan antar bangsa-bangsa. Kepada narapidana harus ditanamkan rasa peraturan, rasa kebanggaan Indonesia, harus ditanamkan jiwa bermusyawarah untuk mufakat yang positif. Narapidana harus diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan umum.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh selalu ditujukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Maka petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang menyinggung perasaannya, khususnya yang bersangkutan dengan perbuatannya yang telah lampau yang menyebabkan ia masuk lembaga. Segala bentuk label yang negatif (cap sebagai terpidana) hendaknya sedapat mungkin dihapuskan.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Maka perlu diusahakan supaya narapidana mendapat mata pencaharian untuk kelangsungan hidup keluarga yang menjadi tanggungannya dengan disediakan pekerjaan ataupun dimungkinkan bekerja dan diberikan upah untuk pekerjaannya. Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya disediakan lembaga pendidikan (sekolah) yang deperlakukan ataupun diberi kesempatan kemungkinan mendapatkan pendidikan di luar.

10. Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan ialah warisan rumah-rumah penjara yang keadaannya menyedihkan, sukar disesuaikan dengan tugas pemasyarakatan, yang letaknya di tengah-tengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal. Maka perlu kiranya mendirikan lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan, serta memindahkan lembaga-pembaga yang letaknya di tengah-tengah kota yang sesuai dengan proses pemasyarakatan. Hal ini tidak berarti bahwa lokasi lembaga semuanya harus jahu dari kota. Sesuai dengan proses pembinaannya akan diperlukan pula lembaga-lembaga yang letaknya dekat kota, ataupun justru di dalam kota, tetapi bentuk dan tata bangunannya tidak menyolok sebagai bangunan penjara yang tradicional. Sehingga tidak merupakan ”label” bagi penghuninya sebagai “orang-orang jahat”.


C. TUGAS DAN FUNGSI PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan system,kelembagaan,dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari system pemidanaan dalam tata peradilan pidana.Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.Kedua pengertian tersebut diatas merupakan pengertian yang tercantum dalam undang-undang  nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan.selanjutnya sebagai lembaga pemasyarakatan maka lembaga pemasyarakatan mempunyai tugas sebagai berikut yaitu :
  1. Melakukan pembinaan narapidana/anak didik
  2. Memberikan bimbingan ,mempersiapkan sarana dan prasarana pengelompokan hasil kerja narapidana
  3. Melakukan bimbingan social /kerohanian narapidana /anak didik
  4. Melakukan Pemeliharaan Keamanan dan tata tertib lapas
  5. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga

Memahami fungsi lembaga pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. 

Didalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi Narapidana (Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan 1990, Departemen Kehakiman) meliputi:
  1. Pembinaan berupa interaksi langsung, bersifat kekeluargaan antara Pembina dan yang dibina.
  2. Pembinaan yang bersifat persuasif yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan.
  3. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematika.
  4. Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernagara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.


Tujuan pembinaan Narapidana selanjutnya dikatakan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para Narapidana dan anak didik yang berada di dalam LAPAS atau RUTAN.
Pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan/ Rumah Tahanan Negara, hingga saat ini mengalami hambatan. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan sarana fisik yang memakai bangunan peninggalan Hindia Belanda, untuk dalam berinteraksi dengan penghuni lain sangat dekat sehingga tidak menutup kemungkinan berkumpulnya pelanggar hukum dengan berbagai karakteristik masa pidana yang harus dijalani dan sangat memungkinkan mereka saling bertukar pengalaman mengenai cara-cara melakukan kejahatan yang lebih canggih.

Isu disekitar tukar pengalaman diantara sesama Narapidana, mengisyarakatkan bahwa tingkah laku kriminal itu dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal tersebut, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi atau dorongan. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan, menyukai atau tidak menyukai. Seseorang menjadi deliquent karena penghayatan terhadap peraturan perundang-undangan lebih suka melanggar daripada mentaati.

Memahami teori tersebut, maka tepat kalau LAPAS potensial dan strategis sebagai tempat berinteraksi antara Narapidana berpengalaman dengan Narapidana pemula. Hal ini dimungkinkan pada saat berlangsung suatu acara maupun kegiatan pembinaan. Oleh karena itu, semakin lama berada di penjara semakin mungkin seseorang itu menjadi terpenjara. Hal ini sangat relevan sebagaimana dikemukakan  oleh Muladi (1998:56), bahwa “pertama, sub kultur penjahat yaitu apabila Narapidana mengikuti kehidupan yang ada di penjara. Kedua, sub kultur pencuri yaitu apabila Narapidana menghayati kultur jahat dari luar. Dan ketiga, sub kultur yang benar yaitu apabila Narapidana mengikuti norma yang benar.”

Memahami budaya umum yang berkembang di penjara bertujuan untuk mengetahui proses sosialisasi Narapidana, khususnya hubungan antara apa yang dialami selama menjalani hukuman serta keterkaitan dia dengan dunia luar. Kehendak Narapidana untuk tetap mengikuti pola-pola yang diinginkan oleh Pembina sering berbenturan dengan apa yang dilihat dan dialami selama berinteraksi dengan sesama darapidana.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sistem Pemasyarakatan bagi publik lebih identik dengan “penjara” atau pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dalam kenyataannya, tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. 

Dalam pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 (salah satunya hasil pemikiran dari Bahruddin Suryobroto), selain juga dipengaruhi oleh kebijakan Presiden saat membuka konferensi kepenjaraan tahun 1964 tersebut. Dalam amanat Presiden saat membuka konferensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiapmanusia adalah Makhluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif. Diranah filosofis, Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat manusiawi, melalui perlindungan hakhak terpidana. 



DAFTAR PUSTAKA

Abidin Zainal Farid, 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika. Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia
Mandiri, Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum
dan HAM RI. Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. A.Widiada Gunakaya, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung
Armico.
Bachtiar Agus Salim, 2003, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga
Lahirnya Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini, Medan: Pustaka
Bangsa, Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa. Burhan Bungi, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta Raja Grafindo
Persada. C.I. Harsono Hs, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana , Jakarta: Djambatan. D. Schaffmeister, et al, 1995, Hukum Pidana editor penerjemah J,E sahetapi,


EmoticonEmoticon